Oleh : Ratna Ningtyastuti, Institute For Suistainble and Reform
Pada tahun 2015 seluruh negara-negara yang tergabung dalam ASEAN diharapkan telah memiliki bandar udara internasional. Hal ini merupakan implementasi dari perjanjian open sky yang telah disepakati oleh para pemimpin ASEAN dalam deklarasi ASEAN pada bulan Oktober tahun 2003 di Bali, Indonesia.
Implementasi open sky ini dilakukan secara bertahap. Pada 2015, seluruh negara di kawasan ASEAN ditargetkan wajib menerapkannya.
Sebelumnya pada bulan Januari 2005, Indonesia pernah memberlakukan kebijakan open sky. Saat itu, langkah itu ditempuh guna mempermudah pengiriman bantuan dan misi kemanusian dari negara-negara sahabat pasca bencana Tsunami di Aceh. Kebijakan open sky memungkinkan penerbangan langsung ke bandara tujuan, misalnya Singapore Airlines bisa terbang rute Jakarta- Bangkok langsung, dan Garuda bisa terbang Kuala Lumpur – Singapura.
Kebijakan open sky yang ditetapkan pada deklarasi ASEAN lalu tentu saja berbeda dengan yang pernah diberlakukan pemerintah Indonesia pada tahun 2005 lalu. Open sky ASEAN ini adalah pengembangan lebih lanjut kerjasama Keamanan, Ekonomi, Sosial Budaya di antara negara-negara ASEAN, terutama dalam industri penerbangan. Hal ini berarti akan terjadi persaingan bebas antar maskapai masing-masing negara dalam menggarap pasar penerbangan di kawasan ASEAN.
Kondisi Penerbangan Domestik
Kalau kita kilas balik beberapa tahun ke belakang, pada tahun 2001, dunia penerbangan Indonesia telah memulai era low cost airline. Perubahan ini banyak membuat pelaku industri penerbangan menerapkan berbagai strategi untuk memenangkan persaingan di antara maskapai penerbangan domestik. Akibatnya, perang tarif tak terelakkan, lebih dari itu, dalam rangka untuk menekan harga tiket serendah-rendahnya, biaya pun dipangkas dan pesawat-pesawat yang usianya sudah tua pun didatangkan untuk mendapatkan harga sewa yang murah. Persaingan yang tidak sehat ini memiliki dampak buruk bagi maskapai dan juga konsumen. Hingga klimaksnya, adanya penilaian pemeringkatan maskapai penerbangan oleh Departemen Perhubungan dan dikeluarkannya larangan terbang oleh Uni Erope per Juli 2007. Sejak saat itu maskapai Nasional berusaha melakukan perbaikan di segala bidang terutama faktor keamanan dan keselamatan penerbangannya.
Indonesia yang memiliki 26 bandara internasional, serta wilayah dan populasi penduduk yang besar merupakan peluang yang besar bagi negara ASEAN lain untuk meraup keuntungan melalui kebijakan tersebut. Bila dibandingkan dengan Singapura yang hanya punya satu bandara dan Malaysia yang punya enam bandara dan yang diliberalisasi hanya dua bandara saja, maka komposisi yang dimiliki Indonesia jelas tidak sebanding dengan kedua negara tersebut.
Oleh karenanya, selain memperhatikan potensi keuntungan yang dapat diperoleh dengan kebijakan open sky ini, pemerintah harus mewaspadai peluang ancaman perebutan pangsa pasar penerbangan di wilayah ASEAN juga pangsa pasar penerbangan domestik. Bisa dikatakan, kebijakan open sky ini adalah salah satu cara menembus pasar penerbangan Indonesia yang memiliki wilayah yang luas dengan fasiltas bandara yang banyak.
Kebijakan liberalisasi penerbangan atau ASEAN Open sky Policy ini tidak hanya berlaku untuk pesawat penumpang, tetapi juga untuk pesawat kargo. Kementerian Perhubungan telah menetapkan tujuh bandara internasional yang akan melayani hilir mudik pesawat kargo tersebut.
Sedangkan untuk pesawat penumpang, pemerintah berencana akan menetapkan lima bandara yang akan diliberalisasi untuk memenuhi kebijakan open sky. Kelima bandara itu adalah Soekarno-Hatta di Jakarta, Kualanamu di Medan, Juanda di Surabaya, Ngurah Rai di Denpasar serta Hasanuddin di Makassar.
Walau begitu, hingga kini keresahan di kalangan pelaku penerbangan tak kunjung hilang. Permasalahan-permasalahan yang masih terjadi di dalam industri penerbangan domestik tentu akan menjadi penghambat saat open sky ini benar-benar diterapkan. Masalah kepemilikan asing di tubuh maskapai masih menjadi ‘PR’ bagi pemerintah, asosiasi penerbangan, dan stake holders. Masalah ketersediaan pilot yang memiliki kualifikasi sesuai standar pun belum terselesaikan, karena faktanya beberapa maskapai masih menggunakan pilot asing.
Menteri Perhubungan Freddy Numberi mengatakan bahwa, jumlah armada maskapai Indonesia yang memiliki potensi untuk melayani rute penerbangan internasional masih terbilang sangat sedikit. Bahkan Dirjen Perhubungan Udara Herry Bakti S Gumai mengungkapkan pada situs resmi Kementrian Perhubungan, bahwa dengan segala keterbatasan yang ada saat ini, menurutnya Indonesia tidak akan bisa mengimplementasikan kebijakan open sky ini secara menyeluruh pada 2013 mendatang.
Belajar dari pengalaman penerapan ACFTA, bahwa jangan sampai kita terlambat (lagi) mempersiapkan diri menghadapi serbuan maskapai asing dalam persaingan industri di bawah payung open sky ASEAN. Kita harus bergegas membereskan permalasahan-permalasahan yang nantinya akan menjadi kendala tersendiri dalam era liberalisasi bandar udara di ASEAN. Indonesia sebagai Negara besar yang berdaulat harus tegas dan berani melindungi industri penerbangan domestik dari ancaman asing. Hal ini sesuai dengan konvensi Chicago pasal 1, yang menyebutkan, bahwa suatu negara berdaulat di dunia ini berhak mengatur dan menutup bandaranya dari kepentingan negara lain. Dan konvensi Chicago ini adalah dasar dari tercetusnya ASEAN Open sky Policy.
Leave a comment